Rancangan pesawat N219 buatan PT Dirgantara Indonesia. |
Sonny Saleh Ibrahim dari Humas PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dalam seminar tentang penyediaan persenjataan TNI AL dan industri dalam negeri, akhir Desember 2012, di Jakarta, menceritakan, pesawat N-219 adalah pesawat jenis short take-off and landing yang dapat beroperasi di landasan pendek, seperti di kawasan timur Indonesia. Pesawat itu punya jarak jelajah sekitar 1.000 kilometer dengan kecepatan 150 knot yang cocok melayani rute perintis.
"Rencana ini strategis sekali. N-219 berukuran lebih kecil dari CASA 212-200 dengan daya angkut 19 penumpang. Ukurannya lebih kurang seperti Twin Otter yang di dunia akan segera berakhir masa operasinya dan juga berpotensi mengisi pasar yang dikuasai Cessna Caravan. N-219 sudah lolos uji tes terowongan angin (wind tunnel)," kata Sonny optimistis.
PTDI sudah mendapat dukungan sejumlah lembaga terkait, seperti Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional.
Sebagai langkah lanjut, PTDI pun menyiapkan tiga prototipe. Kebutuhan dana bagi pembangunan tersebut mencapai 45 juta dollar AS (sekitar Rp 433 miliar). Seandainya dukungan penuh diperoleh, lanjut Sonny, N-219 bisa siap dalam waktu empat tahun sejak 2013.
Peluang kuasai pasar
Namun, biaya tersebut akan tertutup, bahkan meraup untung jika N-219 yang harga jualnya sekitar 4 juta dollar AS per unit (sebagai bandingan, harga CASA 212 adalah 7 juta dollar AS per unit) mampu mengisi kebutuhan pasar lokal, regional, dan dunia akan pesawat sejenis Twin Otter yang akan segera pensiun dalam beberapa tahun mendatang. "Dalam waktu dekat, jenis Twin Otter yang pensiun mencapai 90-an unit," kata Sonny.
Dalam hitungan kasar, sekitar 90 unit Twin Otter itu senilai dengan 360 juta dollar AS pesawat N-219 dalam jumlah yang sama. Belum lagi kebutuhan akan pesawat Caravan dan tipe Twin Otter buatan China, YS-5.
Pengamat penerbangan, Dudi Sudibyo, memuji langkah PTDI demi kebangkitan industri strategis Indonesia. "Kemampuan teknis YS-5 buatan China masih di bawah Twin Otter. Kalau N-219 memiliki kemampuan di atas atau setara Twin Otter atau varian barunya, yakni New Twin Otter, tentu kita akan memiliki peluang besar menguasai pasar," kata Dudi.
Dia mengingatkan, pasar dalam negeri harus lebih dahulu direbut. Sejumlah operator yang mengoperasikan pesawat tipe perintis, seperti maskapai Merpati, Air Fast, Wings Air, Trigana, dan Susy Air, haruslah didekati PTDI. Saat ini, operator seperti Air Fast, lanjut Dudi, sudah mengoperasikan jenis New Twin Otter.
Dudi menerangkan, Twin Otter yang berbasis di Kanada membuat pesawat sesuai dengan kebutuhan operator. Twin Otter domestik yang beroperasi di Kanada berbeda karakter dengan Twin Otter yang dioperasikan di Himalaya dan daerah lain.
"Saya berharap PTDI bisa gesit seperti Airbus. Coba lihat betapa Airbus 350 yang belum jadi sudah mendapat pesanan ribuan unit. Belum lagi Airbus dan Boeing sangat tanggap terhadap layanan purnajual. China yang baru mengembangkan industri dirgantara sangat belajar dari rekam jejak Airbus dan Boeing. Kelemahan kita di Indonesia, termasuk di PTDI, adalah mengurus hal-hal seperti diuraikan tersebut," paparnya.
Produk dalam negeri
Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro dalam penutupan seminar TNI AL menegaskan, sesuai undang-undang, pihaknya akan mengutamakan menggunakan produksi dalam negeri jika sudah tersedia.
Beberapa waktu sebelumnya, Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin memuji PTDI yang mengerjakan sejumlah helikopter dan pesawat angkut pesanan Kementerian Pertahanan meskipun perbankan belum mengucurkan dana pinjaman.
Pesawat N-219 adalah salah satu langkah strategis membangun kemandirian dan meraih keuntungan bisnis dirgantara. Waktu akan membuktikan apakah PTDI akan mendapat dukungan dan bekerja sepenuh daya meraih peluang berkembangnya pasar penerbangan dunia serta kebutuhan menghubungkan pulau-pulau dan daerah terisolasi di Indonesia. (Iwan Santosa)
Editor : Tri Wahono
Sumber : Kompas
0 komentar:
Posting Komentar