Ada yang tak biasa di ruang sidang Dewan HAM PBB di Jenewa, Swiss, pada 30 Mei lalu. Kali ini rapat tak membahas rapor hak asasi manusia negara-negara tertentu. Rupanya ada satu isu menarik: soal robot pembunuh.
Hari itu, seorang pengacara asal Afrika Selatan, Christof Heyns, didapuk pimpinan sidang untuk bicara. Heyns adalah juga Pelapor Khusus PBB untuk masalah eksekusi mati ekstra yudisial, sepihak, dan sewenang-wenang.
Tapi Heyns tak menyinggung ihwal serdadu dari rezim bengis yang doyan menghabisi nyawa. Yang diungkapkannya adalah potensi mesin pembunuh pintar yang kejam, atau robot pembunuh. Heyns menyebutnya Lethal Autonomous Robots (LARs), atau robot otonom mematikan.
Robot cerdas itu sangat berbahaya. Bila diaktifkan, dia bisa memilih, dan melancarkan serangan langsung ke sasaran, dan tanpa perlu lagi peran manusia. Memang, ihwal robot ini terdengar agak mengawang-awang. Tapi ancaman itu, kata Heyns, kian nyata. Ini kali pertama Sidang Dewan HAM PBB mendengarkan potensi ancaman robot pembunuh.
Pesan Heyns di sidang Dewan HAM itu adalah jangan sampai dunia membiarkan tumbuhnya "mesin yang diberi kuasa membunuh manusia." Heyns mengusulkan Dewan HAM PBB mengupayakan moratorium global atas pengembangan dan pengerahan LARs.
LARs yang dia maksud bukanlah seperti teknologi pesawat nirawak (drone) bersenjata yang sering dipakai AS saat ini, atau senjata jarak jauh lainnya. Mesin pintar LARs justru punya kemampuan memutuskan sendiri kapan menyerang, atau mengeksekusi target.
"Drone yang ada saat ini masih dikendalikan manusia, yang memutuskan kapan senjata mematikan dibawa pesawat itu. Sebaliknya, LARs dilengkapi komputer yang bisa memutuskan sendiri siapa sasarannya," kata Heyns dalam paparannya di sidang Dewan HAM, yang didokumentasikan di laman resmi PBB.
Bila dikerahkan di medan tempur, LARs akan membawa perubahan radikal dalam filosofi perang. Pertimbangan kemanusiaan bisa jadi tak akan lagi berlaku. Siapapun mereka akan dibinasakan, bila sudah menjadi sasaran oleh LARs.
"Perang tanpa refleksi adalah pembantaian mekanis," kata Heyns. "Selama ini mengambil nyawa manusia harus dipertimbangkan dulu walau seminim mungkin. Maka keputusan membolehkan mesin dikerahkan untuk menghabisi nyawa manusia sepatutnya ditangkal di seluruh dunia," ujar Heyns.
Heyns, di satu sisi, mengatakan robot seperti itu yang diberi memang belum muncul saat ini. Namun, dia yakin sudah ada pembuatan LARs secara rahasia, dan sistem robotik yang mampu menyerang otomatis. Senjata itu, dalam tingkatan tertentu, sudah digunakan.
Sudah dikembangkan
Ada sejumlah contoh pembuatan mesin-mesin yang bisa dikembangkan menjadi LARs. Korea Selatan, misalnya, telah mengerahkan robot pengintai dan penjaga keamanan.
Robot buatan Samsung Techwin itu dikerahkan di zona demiliterisasi, yaitu wilayah penyangga yang memisahkan Korsel dengan musuhnya, Korea Utara. Sejak Perang Korea 1950-1953, dua negara itu masih bermusuhan, dan konflik hanya diredakan melalui gencatan senjata disponsori PBB.
Heyns menyebut robot-robot itu mampu mendeteksi target melalui sensor inframerah. "Mereka saat ini dioperasikan oleh manusia, namun punya 'moda otomatis,'" Heyns memperingatkan.
Bukan cuma Korea, sejumlah negara juga mengembangkan sistem senjata otomatis. Sistem Harpy milik Israel, misalnya, didesain mendeteksi, dan menghancurkan emiter radar. "Selain itu, prototip drone Taranis milik Inggris bisa mencari, mengidentifikasi, dan melacak musuh, namun hanya bisa menembak sasaran bila diotorisasi oleh komando misi," kata Heyns di sidang Dewan HAM PBB.
Amerika Serikat pun sudah mengembangkan senjata robotik. Ini terlihat pada sistem persenjataan Phalanx milik Angkatan Laut AS, ujar Heyns. Phalanx bisa mendeteksi, melacak, dan melancarkan serangan berupa rudal anti kapal, dan anti pesawat terbang.
Bahkan Departemen Pertahanan AS pun diketahui terus mengembangkan teknologi drone, yang akan dibuat jadi "lebih pintar." Saat ini pesawat-pesawat nirawak itu dioperasikan secara jarak jauh oleh para petugas di ruang kendali. Tugasnya adalah mengintai, maupun menembakkan rudal ke sasaran tertentu.
Christian Enemark, pengamat keamanan dari Australian National University, yakin suatu saat drone tempur akan diberi kemampuan membunuh target tanpa perlu otorisasi dari operator. “Meski saat ini drone itu dikendalikan dari jarak jauh oleh manusia, ada kepentingan militer AS mengembangkan teknologi drone sehingga pesawat nirawak itu bisa tetap terbang meski kehilangan kontak pengendali di darat," kata Enemark saat diwawancara stasiun radio ABC Australia.
Departemen Pertahanan AS (Pentagon) belum membantah, atau membenarkan dugaan dari Enemark itu. Namun, seorang pakar intelejensia buatan dan robotik terkemuka dari Inggris, Noel Sharkey, sudah melihat tanda Pentagon mengembangkan drone menjadi mesin pembunuh otomatis seperti LARs.
Produk yang dikembangkan adalah X47B. Ini adalah drone tercanggih bagi Angkatan Laut AS. Pada 14 Mei lalu senjata itu kali pertama berhasil diluncurkan dari kapal induk. Menurut stasiun berita NBC, ujicoba pertama berlangsung di atas kapal induk USS George H.W. Bush di lepas pantai Virginia.
X47B ini diyakini lebih canggih dari tipe drone lain. "Unit riset Pentagon di AS tengah mengembangkan pesawat nirawak X47B berkecepatan supersonik, dan mampu bermanuver dengan kemampuan G-force yang tak mampu dilakukan oleh manusia. Pesawat ini bisa menjalani pertempuran bersenjata otomatis di mana pun di planet ini," kata Sharkey seperti dikutip The Observer.
Sharkey yakin dengan dikembangkannya pesawat tempur nirawak seperti X47B, robot pembunuh bukan lagi hanya cerita fiksi sains, namun sudah benar-benar dikembangkan
"Di Amerika kini lebih sering digelar pelatihan pilot drone ketimbang pilot pesawat sungguhan. Yang dicari adalah anak-anak muda sangat pintar main game di komputer. Kini muncul upaya pembuatan banyak robot, yang mungkin hanya akan diawasi oleh satu orang," kata profesor dari Universitas Sheffield itu.
Selain itu, yang membedakan dengan drone lain, X47B ini bisa menjelajah sendiri, tanpa perlu kendali jarak jauh.
Menurut Daily Mail, pesawat itu dilengkapi perangkat bernama Control Display Unit (CDU), yang mengirim perintah kepada komputer di pesawat. Alat itu mampu menggunakan intelejensia buatan (AI) untuk berpikir sendiri, termasuk menentukan arah penerbangan.
Memang, untuk eksekusi penembakan, atau menentukan sasaran, X47B masih akan dikendalikan oleh operator dari jarak jauh. Namun drone buatan Northrop Grumman itu disiapkan bisa bernavigasi sendiri dengan teknologi seperti GPS, autopilot, dan anti radar.
Kecanggihan X47B ini memunculkan banyak kritik. Penggunaan teknologi AI dalam sistem persenjataan militer pada drone itu dikhawatirkan membuka jalan bagi pengembangan robot pembunuh otomatis.
Kalangan petinggi Angkatan Laut AS menepis kekhawatiran itu. Ia bilang pesawat nirawak itu tetap dikendalikan manusia untuk tugas-tugas intelijen, pengintaian, dan penetapan target.
Walau belum dikembangkan sepintar X47B, pengoperasian armada drone oleh militer dan intelijen AS (CIA) sudah menuai kecaman, terutama dari negara yang kerap menjadi sasaran operasi pesawat nirawak itu.
Ribuan tewas
Drone tempur itu lebih sering dipakai di negara-negara yang justru tak berperang dengan AS. Sasaran sebenarnya adalah mereka yang dicurigai sebagai teroris al-Qaeda maupun penjahat kemanusiaan, namun tak sedikit warga sipil yang juga menjadi korban.
Data dari Bureau of Investigative Journalism, seperti dikutip Daily Mail, menunjukkan dalam 11 tahun di Yaman, 333 orang tewas akibat serangan drone AS. Sebanyak 47 korban adalah warga sipil, dua dari mereka masih anak-anak.
Itu adalah data dari serangan yang telah dikonfirmasi berasal dari drone AS. Ini belum termasuk 96 serangan lain di Yaman yang diduga dilancarkan pesawat nirawak AS, yang membunuh hingga 445 orang, termasuk 50 warga sipil dan 10 dari mereka anak-anak.
Di Somalia, biro itu mencatat, dalam enam tahun terakhir sudah 27 orang yang meregang nyawa terkena tembakan rudal dari drone. Sebanyak 15 dari mereka adalah warga sipil yang berada di dekat sasaran.
Pakistan adalah negara yang paling sering jadi target operasi drone CIA. Menurut data biro, dalam sembilan tahun terakhir, drone maut AS itu membunuh 3.533 orang di Pakistan. Mereka termasuk 884 warga sipil dan 197 di antaranya adalah anak-anak.
Rakyat Pakistan pun marah, termasuk perdana menteri mereka yang baru, Nawaz Sharif. "Serangan drone tidak saja pelanggaran atas kedaulatan dan integritas teritorial Pakistan, tapi juga suatu aksi yang sudah dinyatakan sebagai pelanggaran hukum dan Piagam PBB," kata Sharif.
Ironisnya, AS terus melancarkan serangan drone maut ke Pakistan beberapa hari setelah Presiden Barack Obama mengeluarkan pedoman baru membatasi operasi drone di mancanegara.
Makin seringnya penggunaan drone oleh AS dan kemajuan riset X47B ini membuka jalan bagi pengembangan robot pembunuh. "Kenyataannya, selain AS, ada 76 negara yang punya program robotik militer saat ini," kata Profesor Ronald Arkin dan Georgia Institute of Technology, AS.
Pengembangan ini adalah konsekuensi makin mudahnya orang saat ini mendapat akses teknologi canggih. "Kini kita bisa membeli sebuah drone kecil seharga dua ratus dolar. Dua tahun lalu hanya terbatas dimiliki militer. Situasi ini tidak saja dilihat dari kacamata Amerika. Ini sudah menjadi perhatian global," kata Arkin seperti dikutip stasiun berita BBC.
Pro kontra
Memang, robot pembunuh itu, bagi sebagian kalangan, diperlukan menghindari banyaknya manusia menjadi korban peperangan. Maksudnya, perang di masa datang, tak perlu lagi kirim banyak tentara manusia, tapi cukup kerahkan robot pembunuh.
Keuntungannya, robot pembunuh bisa mengeksekusi sasaran lebih terperinci, efisien, dan tak diganggu oleh faktor non teknis seperti rasa balas dendam, panik, marah, atau takut. Robot pun tidak akan kenal rasa lelah.
"Robot, dengan pemrograman yang tepat dan perhitungan dingin, tak akan terganggu oleh gairah dan emosi,” ujar Sam Roggeveen, pakar keamanan dari Lowy Institute, saat diwawancara stasiun radio ABC Australia.
Profesor Arkin juga berpendapat serupa. Menurut dia robot-robot bersenjata bisa diprogram mematuhi hukum internasional dan etika berperang. Kata, Arkin, selama ini toh banyak korban sipil akibat eksekusi yang dilakukan tentara manusia. Maka, dia minta banyak pihak jangan berapriori mengenai robot bersenjata.
"Banyak orang yang berteriak ‘Oh, robot jahat. Oh, robot pembunuh’," kata Arkin seperti dikutip stasiun berita BBC. "Kita punya prajurit pembunuh di luar sana. Kekejaman terus berlangsung, dan itu sudah terjadi sejak dikenalnya peperangan," ujar Arkin.
Maka, dia menekankan saat ini perlu teknologi yang mampu mengurangi jumlah korban tak bersalah di medan perang. "Penerapan sistem robotik yang etis bisa mengatasi masalah itu. Selama ini kita cukup bodoh, baik sebagai bangsa maupun dunia, untuk terus berperang," kata dia.
Tapi Heyns, yang menjadi Pelapor Khusus PBB itu, melihat sistem persenjataan otomatis lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Apalagi, bila mesin tempur yang mampu mengeksekusi secara otonom, maka negara lebih mudah memutuskan berperang.
Pertanyaan lain, apakah mesin pembunuh pintar itu bisa diprogram mematuhi hukum kemanusiaan internasional. "Apakah ia bisa membedakan musuh bersenjata dengan warga sipil, dan korban yang tidak perlu," ujar Heyns. Kalau tak bisa dijawab, dia minta dunia menghentikan mesin pembunuh LARs itu.
Ia juga minta Dewan HAM PBB menyerukan moratorium nasional atas produksi, perakitan, pemindahan, akuisisi, pengerahan, dan penggunakan LARs sebelum ada kerangka kerja jelas dalam membatasi senjata itu.
Saran Heyns itu sejalan kekhawatiran pengamat Monash University, Profesor Rob Sparrow. Dia menilai belum ada aturan jelas soal bagaimana menindak robot secara hukum, misalnya untuk kasus salah tembak. Salah sasaran sangat mungkin terjadi bila menyerahkan robot menjalankan eksekusi tembak di medan konflik.
"Susah mengadili robot. Mereka bukanlah pihak yang bisa kita kirim ke penjara," kata Sparrow yang turut mendirikan Komite Internasional untuk Pengendalian Senjata Robot.
Cara lain adalah mengadili perwira yang bertanggungjawab mengerahkan robot pembunuh, walau keputusan itu pun kontroversial. Komandan pengerah robot itu mungkin bisa dikenakan tuduhan. Tapi, ada soal lain, karena eksekusi dilakukan oleh sang robot sendiri. “Jadi, tampaknya itu tidak adil," kata Sparrow seperti dikutip stasiun berita ABC Australia. (Viva News)
0 komentar:
Posting Komentar